Menghadang Tsunami Digital, Ancaman ‘Brain Rot’ pada Anak, dan Solusinya dari Ruang Kelas

waktu baca 5 menit
Rabu, 6 Agu 2025 13:03 7 prestasi

Di sudut ruang tamu, seorang balita dengan lincah menggeser layar gawai, matanya terpaku pada warna-warni video animasi singkat. Di meja makan, seorang anak usia sekolah dasar lebih asyik menonton ulasan permainan daring daripada berbincang dengan orang tuanya. Ini bukan lagi pemandangan langka, melainkan cerminan dari sebuah fenomena besar yang tak terhindarkan: tsunami digital.

Gelombang informasi, hiburan, dan interaksi digital kini menyerbu kehidupan anak-anak kita sejak usia yang sangat dini. Gawai dan media sosial telah mengubah secara drastis pola asuh, cara anak berinteraksi, dan bahkan bagaimana otak mereka berkembang. Di balik kemudahan dan hiburan yang ditawarkan, ada ancaman tersembunyi yang mulai menunjukkan gejalanya, sebuah kondisi yang populer disebut ‘brain rot’.

Tidak dapat dipungkiri, gawai sering kali menjadi solusi cepat bagi orang tua. Saat anak rewel, gawai menjadi penenang. Saat orang tua sibuk, gawai menjadi ‘pengasuh digital’. Pola ini, meskipun tampak efektif dalam jangka pendek, mengikis fondasi terpenting dalam perkembangan anak yakni interaksi manusiawi.

Percakapan tatap muka, dongeng sebelum tidur, atau permainan sederhana di halaman rumah kini bersaing ketat dengan daya pikat konten digital yang tak ada habisnya. Akibatnya, hubungan emosional antara orang tua dan anak bisa menjadi dangkal. Anak terbiasa dengan stimulasi pasif dari layar, sementara orang tua kehilangan momen-momen berharga untuk memahami, membimbing, dan membangun ikatan dengan buah hatinya.

Istilah ‘brain rot’ mungkin terdengar ekstrem, namun ia cukup akurat untuk menggambarkan penurunan kualitas fungsi kognitif, emosional, dan sosial akibat paparan konten digital berkualitas rendah yang berlebihan. Ini bukanlah penyakit medis resmi, melainkan sebuah label untuk serangkaian gejala yang semakin umum dijumpai pada generasi digital.

Gejala-gejala ‘brain rot’ dapat diidentifikasi melalui tiga aspek utama:

Penurunan Intelektual:

Anak memiliki rentang perhatian yang sangat pendek (sulit fokus), kehilangan minat pada aktivitas yang membutuhkan pemikiran mendalam (seperti membaca buku), dan cenderung menginginkan gratifikasi instan. Mereka kesulitan memecahkan masalah kompleks karena terbiasa dengan solusi sekali klik.

Keterbelakangan Emosional:

Paparan konten yang serba cepat membuat anak sulit mengenali dan memproses emosi yang kompleks, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Mereka kesulitan membaca ekspresi wajah atau bahasa tubuh, sehingga empati mereka tidak terasah. Ketergantungan pada gawai juga sering kali memicu ledakan amarah saat akses dibatasi.

Kecanggungan Sosial:

Anak yang terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya sering kali merasa canggung dan tidak nyaman dalam interaksi sosial di dunia nyata. Mereka lebih memilih berkomunikasi lewat teks daripada percakapan langsung dan kesulitan membangun persahabatan yang mendalam.

Menghadapi tantangan ini, diperlukan kolaborasi erat antara orang tua dan pendidik. Arief Eka Prasetya, S.Pd, seorang guru di UPTD SPF SDN Gambangan 1, Kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang setiap hari berhadapan langsung dengan dampak digitalisasi pada siswa, menawarkan beberapa solusi praktis dan strategis.

Menurut Arief, kunci untuk melawan dampak negatif tsunami digital bukanlah dengan melarang teknologi sepenuhnya, melainkan dengan menjadi nahkoda yang bijak. “Teknologi adalah alat. Seperti pisau, ia bisa bermanfaat untuk memotong sayur, tetapi juga bisa melukai jika digunakan sembarangan. Tugas kita sebagai orang tua dan guru adalah mengajari anak cara menggunakan alat ini dengan benar,” ujarnya.

Berikut adalah lima pilar solusi yang digagas oleh Arief Eka Prasetya untuk mencegah dan menangani gejala ‘brain rot’:

1. Terapkan ‘Digital Detox’ yang Terstruktur “Jangan hanya melarang, tapi ciptakan aturan main yang jelas,” tegas Arief. Keluarga perlu menetapkan waktu dan area bebas gawai. Contohnya, tidak ada gawai di meja makan, satu jam sebelum tidur, atau selama waktu keluarga. Ini membantu otak anak untuk ‘beristirahat’ dari stimulasi digital dan belajar menikmati momen di dunia nyata.

2. Jadilah ‘Kurator Konten’ untuk Anak Orang tua tidak boleh membiarkan algoritma media sosial menjadi pengasuh anak. Sebaliknya, orang tua harus berperan aktif sebagai kurator. “Pilihlah aplikasi edukatif, tonton film atau dokumenter yang membangun wawasan bersama, dan diskusikan isinya. Jadikan waktu di depan layar sebagai momen interaktif, bukan pasif,” sarannya.

3. Bangun Kembali Jembatan Komunikasi Tatap Muka Interaksi manusiawi adalah penawar paling ampuh untuk ‘brain rot’. Arief menekankan pentingnya komunikasi dua arah. “Tanyakan hari mereka di sekolah dengan pertanyaan terbuka, bukan sekadar ‘bagaimana sekolahmu?’. Dengarkan cerita mereka tanpa menyela atau sambil menatap ponsel. Kehadiran fisik dan mental orang tua adalah nutrisi terbaik bagi perkembangan emosional anak,” jelasnya.

4. Perkaya dengan Stimulasi Dunia Nyata Otak anak membutuhkan beragam stimulasi yang tidak bisa diberikan layar. Ajak anak melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga atau bermain di alam terbuka. Berikan mereka buku-buku fisik, ajak bermain papan permainan (board games), atau libatkan dalam kegiatan seni seperti menggambar dan bermusik. Aktivitas ini melatih fokus, kreativitas, kemampuan motorik, dan keterampilan sosial secara bersamaan.

5. Kolaborasi Erat Antara Rumah dan Sekolah Arief menyoroti pentingnya sinergi. “Sekolah bisa memberikan edukasi tentang literasi digital, sementara orang tua memperkuatnya di rumah. Guru dan orang tua harus saling berkomunikasi jika melihat ada perubahan perilaku pada anak yang mengarah pada kecanduan gawai. Dengan bekerja sama, kita bisa menciptakan ekosistem yang sehat bagi tumbuh kembang anak,” tutupnya.

Tsunami digital adalah keniscayaan. Kita tidak bisa menghentikan ombaknya, tetapi kita bisa mengajari anak-anak kita cara berselancar di atasnya dengan aman. Ancaman ‘brain rot’ adalah nyata, namun bukan berarti tidak bisa dicegah. Untuk itu mari menjadi Nakhoda ditengah badai digital bagi kelangsungan generasi tangguh di masa depan.
Dengan kesadaran, aturan yang jelas, dan komitmen untuk mengembalikan interaksi manusiawi sebagai prioritas utama, kita dapat melindungi generasi masa depan dari dampak terburuknya. Peran orang tua sebagai kurator, guru sebagai fasilitator, dan lingkungan yang kaya akan stimulasi nyata adalah jangkar yang akan menjaga anak-anak kita tetap membumi di tengah derasnya arus digital.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA