Dalam beberapa tahun terakhir, seringkali kita mendengar keluhan tentang perilaku anak-anak yang dianggap kurang sopan, tidak patuh terhadap orang tua, dan kurang menghormati guru di sekolah. Perbandingan pun tak terhindarkan dengan generasi sebelum era milenial, di mana kepatuhan dan rasa hormat seolah menjadi fondasi utama dalam pendidikan dan pengasuhan. Pertanyaannya, mengapa terjadi pergeseran perilaku yang cukup signifikan ini?
Dahulu, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang cenderung lebih otoriter. Orang tua dan guru memiliki otoritas yang nyaris tak terbantahkan. Hukuman fisik atau teguran keras menjadi hal yang lumrah sebagai bentuk pendisiplinan. Akibatnya, anak-anak cenderung patuh karena takut akan konsekuensi yang mungkin timbul jika melanggar aturan.
Namun, era milenial membawa perubahan paradigma dalam pola pengasuhan dan pendidikan. Pendekatan yang lebih demokratis danHumanis mulai diterapkan. Orang tua semakin menyadari pentingnya komunikasi dua arah dan memberikan ruang bagi anak untuk berpendapat. Di sekolah, guru juga didorong untuk menjadi fasilitator yang membimbing, bukan hanya pemberi instruksi.
Perubahan ini tentu memiliki sisi positif, yaitu anak menjadi lebih kritis, kreatif, dan berani mengungkapkan pendapat. Namun, di sisi lain, pelonggaran batasan dan kurangnya ketegasan dalam mendisiplinkan anak dapat menyebabkan mereka kehilangan rasa hormat terhadap otoritas.
Selain itu, beberapa faktor lain juga turut berkontribusi terhadap fenomena ini:
1. Pengaruh Media dan Teknologi: Akses tak terbatas terhadap informasi dan hiburan melalui internet dan media sosial dapat membentuk persepsi anak tentang dunia dan nilai-nilai yang dianut. Mereka terpapar pada berbagai macam perilaku, termasuk yang tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan dan etika.
2. Kurangnya Keteladanan: Anak-anak belajar melalui observasi dan imitasi. Jika mereka tidak melihat contoh nyata dari orang tua, guru, atau tokoh publik yang menunjukkan rasa hormat dan kepatuhan, sulit bagi mereka untuk meniru perilaku tersebut.
3. Tekanan Sosial: Di era kompetisi yang semakin ketat, anak-anak seringkali merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi orang tua dan masyarakat. Hal ini dapat memicu pemberontakan dan ketidakpatuhan sebagai bentuk ekspresi diri.
4. Perubahan Struktur Keluarga: Semakin banyak keluarga yang hanya memiliki satu orang tua atau kedua orang tua bekerja penuh waktu. Hal ini dapat mengurangi waktu dan perhatian yang diberikan kepada anak, sehingga pengawasan dan bimbingan menjadi kurang optimal.
Lantas, bagaimana cara mengatasi masalah ini? Tidak mungkin kita kembali menerapkan pola pengasuhan otoriter seperti dulu. Yang perlu dilakukan adalah mencari keseimbangan antara memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi dan menanamkan nilai-nilai moral serta etika yang kuat.
Orang tua dan guru perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan karakter anak. Komunikasi yang terbuka, keteladanan yang baik, dan konsistensi dalam menerapkan aturan adalah kunci utama. Selain itu, penting juga untuk mengajarkan anak tentang konsekuensi dari setiap tindakan dan membantu mereka mengembangkan rasa tanggung jawab.
Ketidakpatuhan anak bukanlah masalah yang bisa diatasi secara instan. Dibutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu generasi muda tumbuh menjadi individu yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia.
Semoga artikel opini ini memberikan perspektif yang bermanfaat dan memicu diskusi yang konstruktif tentang masalah ketidakpatuhan anak.
Tidak ada komentar